Kabar strategi pajak penghasilan netto (PPN) terus membabi-buta di tengah-tengah masyarakat tanah air.
Hal ini karena belum terjadinya sosialisasi yang rata dan tepat waktu mengenai kenaikan PPN kepada masyarakat umum, yang diumumkan langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto beberapa waktu yang lalu.
Pemerintah menetapkan penyesuaian klaim PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya diterapkan terhadap barang dan jasa berikut:
Lantas apa signifikansi yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai?
PPN adalah salah satu jenis pajak yang dipungut ketika menyerahkan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP).
Sederhananya, ini adalah pajak yang ditambahkan dan dibebankan setelah melakukan suatu transaksi.
Dalam kenyataannya, seseorang yang telah dipastikan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus membuat faktur pajak elektronik sebagai bukti pengenaan PPN dan melaporkannya secara berkala setiap bulan melalui SPT Masa PPN.
Namun, orang yang membayar pajak ini adalah orang yang membeli.
Mengenai tanggal atau waktu resmi penerapan peraturan tersebut, secara penuh baru akan berlaku pada 1 Februari 2025.
Tetapi penerapan PPN tersebut akan ditujukan untuk barang mewah.
Apa alasannya, pemerintah menaikan Pajak Penjualan Barang dan Jasa (PPN) di tahun ini?
Tahun pajak baru, 2025, akan diapit impor termeukan produktifitas global, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mendorong target pertumbuhan PDB sebesar 5,2% hingga 5,5%.
Salah satu alasan utamanya adalah adanya masa transisi yang diberlakukan pada Januari 2025.
Masa transisi ini dirancang untuk memberikan waktu pada masyarakat dan pelaku usaha agar bisa menyesuaikan diri dengan peningkatan tarif PPN dari 11% menjadi 12%.
“Anggap saja transisi. Nanti peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan menjadi 12 persen mulai tanggal 1 Februari 2025. Kalau memang sudah diajukan defensiv oleh pembeli pada bulan Desember, tahu-tahu ini sudah naik PPN-nya di bulan Januari,” Ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro, memuat Kompas.com, Minggu(5/1/2025).
Selama bulan Januari 2025, PPN untuk barang mewah tetap dihitung dengan tarif 11%, meskipun dasarnya menggunakan rumus tarif 12% kali nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual atau nilai impor. Aturan ini berlaku khusus untuk konsumen akhir, atau mereka yang membeli barang mewah seperti mobil atau rumah mewah secara langsung dari dealer atau developer.
Pasal 5 butir a dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024 menjelaskan, “Mulai tanggal 1 Januari 2025 hingga tanggal 31 Januari 2025, Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual.”
Jadi meski tarif yang dikenakan adalah 12 persen, perhitungannya masih menghasilkan angka yang sama dengan PPN 11 persen Seperti pada Januari 2025.
Hal ini berlaku untuk berbagai barang mewah, seperti mobil, rumah, dan barang mewah lainnya yang dibeli oleh masyarakat umum.
Tapi sejak 1 Februari 2025, aturan akan berubah dan PPN sebesar 12% akan berlaku secara penuh, dihitung langsung berdasarkan harga jual ataupun nilai impor tanpa menggunakan rumus nilai lain.
Perubahan ini dicantumkan dalam Pasal 5 butir b PMK 131 Tahun 2024, yang menyatakan bahwa mulai Februari 2025, pajak barang mewah akan dihitung dengan atas tarif 12 persen penuh.
“Mulai tanggal 1 Februari 2025 berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), yang menyebutkan PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan dasar pengenaan pajak berupa harga jual atau nilai impor,” jelas Deni.
Jika pengguna akhir mendapatkan masa transisi, pajak pokok penjualan 12 % sudah berlaku bagi produsen, distributor, dan developer sejak Januari 2025.
Maknanya, untuk transaksi antara pelaku bisnis, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang mewah sudah sepenuhnya berlaku 12 persen, baik di tingkat pabrik, distributor, maupun saat transaksi rumah mewah dari pengembang ke konsumen.
“Implementasi PPN itu meluas dari atas hingga bawah. Jadi kalau di tingkat awal (konsumen akhir) masih tetap 12 persen. Misalnya dari produsen langsung ke distributor atau kemana, itu juga 12 persen,” ungkap Deni.
Tujuan dari kebijakan ini adalah memberikan waktu bagi masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan tarif PPN yang lebih tinggi bagi barang-barang mewah, sambil menjaga agar transaksi di pasar tetap lancar.
Pemerintah berharap transisi ini dapat membantu memperkecil gangguan terhadap konsumen yang sudah melakukan pembelian sebelum tarif penuh diterapkan.
Dengan penetapan tersebut, meskipun PPN 12 persen secara resmi ditetapkan mulai berlaku 1 Januari 2025, implantasinya sebatas pada 1 Februari 2025, memberikan peluang bagi konsumen untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan ini.
Melanjutkan apa-apa barang dan jasa apa saja yang termasuk dan tidak termasuk Jaminan Pajak Pengusaha Aktif (JIB dan JPT).
Barang dan Jasa yang Tidak Dipungut Pajak 12 persen
Berikut adalah barang-barang yang tidak terkena PPN, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 4A dan 16B.
Selain itu, barang yang tidak dikenakan PPN diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK/010/2017, di antaranya:
2. Jasa
Daftar pelayanan yang tidak dikenakan PPN 12 persen diatur dalam UU HPP Pasal 4A ayat 3 dan Pasal 16B ayat 1a huruf j, sebagai berikutnya:
Barang dan Jasa yang Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 Persen di Tahun 2025
Sementara itu, barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN 12% adalah semua yang tidak disebutkan dalam daftar di atas, terutama yang tergolong kategori premium dan VIP.
Simulasi Penghitungan Pajakl Pembangunan (PPN) 12% (Tidak Termasuk PPN 10% Kecuali atas Beberapa Bidang)
Konsep penyederhanaan pajak pertambahan nilai (PPN) biasanya dapat dibayangkan oleh masyarakat umum sebagai pengurangan pajak ketika melakukan pembelian produk di pasar.
Di mana setiap pelaku dalam rantai penyedia (pabrik, distributor, dan toko) hanya membayar pajak atas nilai tambah yang mereka ciptakan.
Nilai tambah tersebut merupakan selisih antara harga beli dan harga jual mereka.
Dari perbedaan tersebut, PPN akan terus bergerak mencari kemajuan di setiap tahap hingga akhirnya sampai pada konsumen.
Konsumen yang dimaksud adalah pihak akhir atau masyarakat umum yang membayar harga barang, yang mencakup semua pajak nilai tambah (PNB) dari tahap-tahap sebelumnya.
Jika belum sepadan, berikut beberapa penjelasan tentang penyederhanaan bentuk struktur rantai atau bagan penjualan, dari pusat utama atau pabrik hingga ke masyarakat konsumen.
Aliran Barang dari Pabrik ke Distributor
Harga Dasar : Rp 5.000
– Harga Setelah Pajak Pertambahan Nilai : Rp 5.000 + 12 persen = Rp 5.600
Harga Jual Distributor : Rp. 10.000 (Mengandung keuntungan laba distance)
PNPMPSDM – Dalam satu tahun, jika ditinjau dari kemampuan potensi negara diperahunkan dari ke-elosan Hak Asasi Manusia (HAM) dippingatkan dari tiga konteks berikut yaitu:
Harga Setelah PPN + Harga Jual + PPN yang Harus Dibayar: (Rp. 5.600 + Rp. 10.000 + Rp. 1.200)
Total Harga : 16.800
||
\/
Multiproditifistikorida Ke Tempat Penjualan
– Harga Dasar Distributor: Rp 16.800 (ini sudah termasuk tiket dan pajak pabean sebelumnya).
– Pajak Penjualan (PPN) yang Dikenakan bagi Distributor ke Toko: Rp 16.800 X 12 persen = Rp 2.016
– Harga Jual ke Toko (Setelah PPN): Rp 16.800 + Rp 2.016 = Rp 18.816
||
\/
Toko kepada Konsumen
– Harga Dasar Toko: Rp 20.160 (termasuk margin dan PPN sebelumnya) harga bisa dibulatkan oleh toko
PNP yang dikenakan oleh toko ke konsumen adalah Rp 20.160 x 12 persen = Rp 2.419,2 (harga disduitkan menjadi Rp 2.420)
– Harga Jual ke Konsumen (Setelah Pajak: Rp 20.160 + Rp 2.420 = Rp 22.580
Pemberitahuan: Hitungannya tersebut, hanya berupa simulasi untuk memberikan gambaran ketika Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikkan 12 persen di tahun yang akan datang, dan sewaktu-waktu sistem perhitungan PPN dan formulanya dapat berubah.
(*)
Google News